Senin, 19 Desember 2011

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KETATATANEGARAAN INDONESIA


KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KETATATANEGARAAN INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara pada Jurusan Ahwal Syakhsiyah Semester IV
D
i
s
u
s
u
n
Oleh:
Kelompok II
Rudi Sofyan
210909171

JURUSAN AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2011



KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.  Yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini. Yang berjudul "Kedudukan Mahkamah Konsitusi dalam Ketatanegaraan Indonesia”.
 Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan pakar dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
                                                                              Medan,    Mei 2011



Penyusun



















DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................ 2
Daftar Isi................................................................................................. 3
BAB I...................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................. 4
    A. Latar Belakang............................................................................... 4
    B. Rumusan Masalah........................................................................... 5
BAB II.................................................................................................... 6
PEMBAHASAN.................................................................................... 6
    A. Penngertian dan Sejarah Mahkamah Konstitusi............................. 6
    B. Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi....................... 8
BAB III................................................................................................... 19
PENUTUP.............................................................................................. 19
    A. Kesimpulan..................................................................................... 19
    B. Saran-saran..................................................................................... 19
Daftar Pustaka......................................................................................... 20

















BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Sejak zaman Yunani Purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya konsitusi itu masih diartikan materil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah tertulis.[1]
Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pokoknya memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar stas dasar undang-undang dasar 1945.Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip “Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance” sebagai pengganti system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.[2]
Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam Undang-Undang Dasar serta perlu dilembagakannya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip, The Rule of Majority”. [3]
Karena itu, fungsi-fungsi Judicial Review atas konstitusionalitas Undang-Undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan / Wakil Preseiden dikaitkan dengan fungsi MK. Disamping itu juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul dan tidak dapat diseleseaikan melalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa Pemilu dan tuntutan pembubaran suatu partai politik. Perkara-perkara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika system politik demokratis yang dijamin oleh UUD 1945.
B. Permasalahan
1. Penegertian dan Sejarah Mahkamah Konstitusi.
2. Kedudukan dan kewenangan Mahkamah konstitusi.


















BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Sejarah Mahkamah Konstitusi
1. Pengertian          
Istilah Konstitusi berasala dari kata kerja constituer yang berarti membentuk.Yang dibentuk adalah suatu Negara.[4]Diantara konstitusi yang ada di dunia, ada konstitusi yang tertulis da nada konsitusi yang tidak tertulis. Yang tertulis itu Undang-undang Dasar (UUD = Grondwet) misalnya UUD RI tahun 1945, UUD Amerika Serikat, sedangkan yang tidak tertulis itu ialah konsitusi yang  berupa konvensi atau kebiasaan dala ketatanegaraan.[5]
Mahkamah Konstitusi adalah institusi baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.Institusi ini diadakan setelah dilakukannya perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Tepatnya diatur dalam pasal 24 ayat 2 yang menyatakan ''kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi".[6]
Oleh karena itu, dalam membicarakan kedudukan dan peranan MK dalam sitem ketatanegaraan Indonesia saat ini tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu meninjau sistem ketatanegaraan yang berlaku sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 itu.[7]
Dalam Undang-Undang dijelaskan bahwa:[8]
  1. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Permohonan adalah permohonan yang diatur secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai :
    1. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    2. Sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3. Pembubaran partai politik.
    4. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum, atau pendapat DPR bahwa Presiden dan / Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan / atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Sejarah
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.[9]
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.[10]
Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama adalah Prof. dr . jimli Asshiddiqie SH. Guru Besar hukum tata Negara Unoversitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antara anggota hukum Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.[11]

B. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konsititusi
1. Kedudukan
            Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank Indonesia”, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.[12]
            Selanjutnya,  UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.[13]
            Berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti MPR, DPR atau MA.[14]
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[15]


Hubungan dengan Mahkamah Agung[16]
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi , Mahkamah Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat?Sesungguhnya ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan.Salah satu alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak, putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi, maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi.Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut.Menurut ketentuan UUD, ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Agung.Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, terlepas dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat disempurnakan sebagaimana mestinya.Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji peraturan di bawah undang-undang.
Hubungan dengan Dewan Perwakilan Rakyat[17]
Dewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang.Karena itu, dalam memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya.
Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara.Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar.Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut.Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
Hubungan dengan Presiden/Pemerintah[18]
Selain bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden.Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan.Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden.Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca Perubahan.
Sebagai ko-legislator, maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah.Apalagi, di samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif).Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR.
Dalam hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya.Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang peradilan.










Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi[19]
Untuk memperlancar tugas dan kerja Setjen dan Kepaniteraan, susunan organisasi MKRI dibuat terdiri dari empat biro dan satu pusat dengan masing-masing tugas pokok dan fungsinya, yaitu sebagai berikut:
2. Kewenangan
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah: Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.[20]
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah :[21]
1.Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusnya bersifat final untuk:
  • Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945
  • Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945
  • Memutuskan pembubaran partai politik, dan
  • Memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
  • Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945
2. mahkamah Knstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum beruppa pengkhiyanatan terhadap Negara, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan /atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Neagra Indonesia Tahunjh 1945.
3.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :
a. Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang.
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaiana diatur dalam Undang-Undang
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pudana penjara 5 (lima ) tahun atau lebih
d. Perbuatan yang tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan /atau Wakil Presiden
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa Mk mempunyai 4 Kewenangan Konstitusional yaitu :[22]
  1. Menguji undang-undang terhadap UUD
  2. Memutuskan sengketa kewenangan antara lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
  3. Memutuskan sengketa hasil pemilu
  4. Memutuskan pembubaran partai politik
Sementara kewajiban Konstitusi MK adalah memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah bersalah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.[23]
Tanpa harus mengecilkan arti kewenangan lainnya dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya dalam makalah singkat ini, maka dari keempat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas Konstitusionalitas.[24]
Fungsi dan peran utama MK adalah  adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum.  Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MK dalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadinegara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.[25]
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah  judicial review[26] yang menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.






BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Salah satu produk informasi ketatanegaraan yang kita bangun setelah perubahan pertama (1999), kedua (2000), ketiga (2001), dan keempat (2002), UUD 1945 adalah dibentuknya MK yang kedudukannya sederajat dengan dan diluar Mahkamah Agung (MA). MK dibentuk dengan maksud mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai Hukum tertinggi (the supreme law of the land ) benar-benar dijalankan atau ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi factor bagi penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa.
B. Saran
Berdasarkan hal tersebut diatas sudahlah pasti Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu Mahkamah yang paling tinggi bersama Mahkamah Agung , Mahkamah Agung hanya memperhubungkan dengan Undang-Undang, dan Peraturan Daerah, sedangkan Mahkamah Konstitusi (Judicial review) menempatkan UUD 1945, Undang-undang, yang mengkaji Undang-undang dengan UUD 1945. Agar maksud tersebut bisa dicanangkan maka hendaklah pemerintah seperti Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak melakukan hal-hal yang membuat kesalahan yang tidak bertanggung jawab karena Mahkamah Konstitusi akan menindak tegasnya.






DAFTAR PUSTAKA

Caray, “Hukum Tata Negara:Mahkamah Konstitusi”, http://makalahdanskripsi.blogspot.com, diakses tanggal 2 Mei 2011.
Dewa Dede Palguna, “Mahkamah Konstitusi dan Prinsip Konstitualis Hukum”, http://www.balipost.co.id, diakses tanggal 2 Mei 2011.
Kusnardi, Moh., SH. (ed.). Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta: Cv. Sinar Bakti, 1983.
Mahkamah Konstitusi, “Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 2 Mei 2011.
Mahkamah Konstitusi, “Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 2 Mei 2011.
Lubis, Solly, Prof. DR. SH. Hukum Tata Negara.Bandung: Cv. Mandar Maju, 2008.
Radjab, Dasril, SH. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.


[1]Moh. Kusnardi (ed.), Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Cv. Sinar Bakti, 1983), h. 62.
[2] Caray, “Hukum Tatanegara:Mahkamah Konstitusi”, http://makalahdanskripsi.blogspot.com, diakses tanggal 2 Mei 2011, h. 1.
[3]Ibid.
[4] Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 37.
[5] Solly Lubis, Hukum Tata Negara (Bandung: Mandar Maju, 2008), h. 27.
[6] Dewa Dede Palguna, “Mahkamah Konstitusi dan Prinsip Konstitualis Hukum”, http://www.balipost.co.id, diakses tanggal 2 Mei 2011.
[7]Ibid.
[8]Caray, “Hukum Tatanegara: Mahkamah Konsitusi”, h. 3.
[9] Mahkamah Konstitusi, “Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id,diakses tanggal 2 Mei 2011.
[10]Ibid.
[11]Caray, “Hukum Tata Negara: Mahkamah Konsitusi”, h. 13.
[12] Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (Surakarta: Kamis 2 September 2004),  h. 1.
[13] Janejdri M. Djaffar, Kedudukan,  Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Surakarta: Mahkamah Konstitusi, 2009), h. 11.
[14] Rekan Berkah, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi”, http://id.answers.yahoo.com, diakses tanggal 2 Mei 2011.
[15]Ibid.
[16]Jimly Asshiddiqie, “Kedudukan Mahkamah Konstitusi”, h. 4-5.
[17]Ibid.,h. 5-6.
[18]Ibid.,6-8.
[19]Mahkamah Konstitusi, “Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 2 Mei 2011.
[20]Caray, “Hukum Tatanegara”, h. 9.
[21]Ibid.,h. 10.
[22]Ibid. ,h.9-11.
[23]Ibid.,h. 11.
[24]Ibid.
[25]Djaffar, Kedudukan, h. 12.
[26]Ibid.