MAKALAH
KEJAHATAN DAN PELANGGARAN DALAM HUKUM PIDANA
DAN PERBANDINGANNYA MENURUT PIDANA ISLAM
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana
pada Jurusan Ahwal Syakhsiyah Semester IV
Oleh:
RUDI SOFYAN
210909171
JURUSAN AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
KATA PENGANTAR
Saya
mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat, taufik dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini. Yang berjudul "Kejahatan
dan Pelanggaran dalam Hukum Pidana dan Perbandingannya menurut Pidana Islam”. Dan
saya juga mengucapakan terima kasih yang sebasar-besar kepada Bapak AHMAT
FAURY, S.Hi., LL.M yang telah memberikan saran dan masukan sehingga makalah ini
dapat diselesaikan.
Saya
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kepada para pembaca dan pakar dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
Medan,
April 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ………………………………………………………………………………………………….. 2
Daftar
Isi ………………………………………………………………………………………..………............ 3
BAB
I PENDAHULUAN ……………………………….………………………………………………………. 4
A. Latar
Belakang…………………………………………………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………. 5
BAB
II PEMBAHASAN ……………………………………..………………………………………………… 4
A. Pengertian
Hukum Pidana dan Pidana Islam …………………………………... 5
B. Kejahatan
dan Pelanggaran dalam Hukum Pidana Positif dan Pidana
Islam
…………...………………………………………………………………..………………… 6
BAB
III PENUTUP KESIMPULAN ……………………………..…………………………………………... 20
Daftar
Pustaka ………………………………….…………………………………….………………………… 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal
perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang -
undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda
bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya
bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan
dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku
pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya
mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran
ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak
memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain,
seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam
berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari
zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS).
KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia
dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana
yang diatur di luar KUHP (lex specialis).[1]
orang
baru menyadari hal tersebut merupakan tindakpidana karena perbuatan tersebut
tercantum dalam undang-undang, istilahnya disebut wetsdelict (delik
undang-undang ). Dimuat dalam buku III KUHP pasal 489 sampai dengan pasal 569.
Contoh pencurian (pasal 362 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP), perkosaan
(pasal 285 KUHP). Meskipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam
undang-undang menjadi tindak pidana tetapi orang tetap menyadari perbuatan
tersebut adalah kejahatan dan patut dipidana, istilahnya disebut rechtsdelict
(delik hukum). Dimuat didalam buku II KUHP pasal 104 sampai dengan pasal 488.
Contoh mabuk ditempat umum (pasal 492 KUHP/536 KUHP), berjalan diatas tanah
yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya (pasal 551 KUHP).
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Hukum Pidana dan Pidana Islam
2.
Pelanggaran
dan Kejahatan dalam Hukum Pidana Positif dan Pidana Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam
1.
Pengertian Hukum Pidana
Secara
tradisional, defenisi hukum pidana adalah “hukum yang memuat
peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggar
yang diancam dengan hukuman berupa siksaan badan.” (Samidjo, 1985: 1). Defenisi
lain adalah, “hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata
“pidana” berarti hal yang dipidanakan, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi
yang berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan
juga hal yang tidak dilimpahkan.[2]
Menurut
Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan
dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan
pidana yang merupakan suatu penderitaan.[3]
2.
Pengrertian Hukum Pidana Islam
Kata Jinayat adalah bentuk jamak dari
kata jinayah, yang berarti perbuatan dosa, kejahatan atau pelanggaran. Bab
Al-jinayah dalam fiqih Islam membicarakan bermacam-macam perbuatan pidana
(jarimah) dan hukumnya. Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan
ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Sedangkan hukum ta’zir
adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.[4]
Hukum Pidana Islam sering disebut
dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat
dalam istilah hukum Islam sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah
merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana.
Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah
diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat
mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah
bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan
itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.[5]
Yang dimaksud dengan jinayat meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh
orang, melukai, memotong anggota tubuh, dan meghilangkan manfaat badan,
misalnya menghilangkan salah satu panca indera.[6]
Dalam Jinayah (Pidana Islam) dibicarakan Pula
Upaya-upaya prefentif, rehabilitative, edukatif, serta upaya-upaya
represif dalam menanggulangi kejahatan disertai tentang toeri-teori tentang
hukuman.[7]
Menurut A. Jazuli, pada dasarnya
pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang.
Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan
fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh
syara’. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut
hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun
demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah
Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan
qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan
dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang
diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.[8]
Secara umum, pengertian Jinayat sama
dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan
yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai
dan lain sebagainya. [9]
B.
Kejahatan dan Pelanggaran dalam Hukum Pidana dan Pidana Islam
1.
Kejahatan dan Pelanggaran dalam Hukum Pidana Positif
Istilah
kejahatan berasal dari kata “jahat”, yang artinya sangat tidak
baik, sangat buruk, sangat jelek,
yang ditumpukan pada tabiat dan kelakuan
orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat.
Dalam ketentuan pasal 86 KUHP sebagaI berikut: “Apabila disebut kejahatan pada
umumnya atau suatu kejahatan pada khususnya, maka dalam sebutan itu termasuk
juga membantu melakukan itu, jika dikecualikan oleh suatu peraturan lain”.[10]
KUHP
menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran di dalam Buku Ketiga.
Tetapi tidak penjelasan mengenai apa
yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu
pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang
sepenuhnya memuaskan.[11]
Dicoba
membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan
pelanggaran merupakan westdelict atau delik undang-undang. Delik hukum
adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya
perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan sebagainya.
Sedangakan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh
undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang
mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenai helm ketika
mengendarai sepeda motor. Disini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.[12] Pelanggaran adalah mengenai hal-hal kecil atau ringan yang diancam dengan
hukum denda sedangkan Kejahatan adalah mengenai hal-hal besar yang diancam dengan pidana
lainnya.[13]
Terdapat
dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran
(Moeljatno,2002:72), yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan
antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan
perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan
adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak
ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan
sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan dengan tata hukum.
Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang
sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan
demikian (Moeljatno,2002:71).Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan
bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana)
antara kejahatan dan pelanggaran.Selain daripada sifat umum bahwa ancaman
pidana bagi kejahatan lebih berat daripada pelanggaran, perbedaan antara
kejahatan dan pelanggaran yaitu (Moeljatno,2002:74) :[14]
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada
kejahatan saja.
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk
kesalahan (kesengajaan atau kelapaan) yang diperlukan di situ, harus dibuktikan
oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubung
dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak
dapat dipidana (Pasal 54 KUHP). Juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana
(Pasal 60 KUHP).
4. Tenggang daluwarsa, baik untuk hak
menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek
daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5. Dalam hal pembarengan (concursus)
pada pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang
enteng lebih mudah daripada pidana berat.
Bentuk-bentuk Kejahatan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur dalam Buku Ke II:[15]
1. Bab - I Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara
Makar
dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan
Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
(Pasal 104 KUHP).
2. Bab - II
Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
3. Bab - III Kejahatan-kejahatan
Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
4. Bab - IV
Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
Contoh :membubarkan
rapat badan pembentuk undang-undang, mengusir ketua atau anggota rapat, dll.
5. Bab - V
Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
6. Bab - VI
Perkelahian Tanding
Dalam
perkelahian tanding merampas nyawa pihak lawan atau melukai tubuhnya, maka
diterapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembunuhan berencana, pembunuhan atau
penganiayaan., dll.
7. Bab - VII
Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
Contoh: menimbulkan
kebakaran, ledakan atau banjir.
8. Bab - VIII
Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
Dengan sengaja di
muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu
penguasa
atau hadan umum yang ada di Indonesia.
9. Bab - IX
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
10. Bab - X
Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
11. Bab - XI
Pemalsuan Meterai dan Merek
12. Bab - XII
Pemalsuan Surat
13. Bab - XIII
Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
Contoh:
menggelapkan asal-usul orang, mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan
atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk
itu., dll.
14. Bab - XIV
Kejahatan Terhadap Kesusilaan
Contoh; Zina, Pemerkosaan,
Video Porno, dll.
15. Bab - XV
Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong
16. Bab - XVI
Penghinaan
17. Bab - XVII
Membuka Rahasia
18. Bab - XVIII
Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
19. Bab - XIX
Kejahatan Terhadap Nyawa
Contoh:
Pembunuhan.
20. Bab - XX
Penganiayaan
21. Bab - XXI
Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan
22. Bab - XXII
Pencurian
23. Bab - XXIII
Pemerasan dan Pengancaman
24. Bab - XXIV
Penggelapan
25. Bab - XXV
Perbuatan Curang
26. Bab - XXVI
Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak
27. Bab - XXVII
Menghancurkan atau Merusakkan Barang
28. Bab - XXVIII
Kejahatan Jabatan
29. Bab - XXIX
Kejahatan Pelayaran
30. Bab - XXIX A
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana
Penerbangan
31.
Bab - XXX Penadahan Penerbitan dan Percetakan
Bentuk-bentuk Pelanggaran dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Buku ke- III:[16]
1. Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum
bagi Orang atau Barang da
Kesehatan.
Kenakalan terhadap orang atau barang yang
dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan. Contoh: memasang ranjau
perangkap, jerat, atau perkakas lain untuk menangkap atau membunuh binatang
buas.
2. Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum
Contoh: Membikin ingar atau riuh pada malam
hari, menarik keuntungan dari perbuatan cabul, dll.
3. Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa
Umum
melanggar ketentuan peraturan penguasa umum
yang telah diumumkan mengenai pemakaian dan pembagian air dari perlengkapan air
atau bangunan pengairan guna keperluan umum,dll.
4. Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan
Perkawinan
Tidak melaporkan pada pejabat Catatan Sipil
atau tentang kelahiran dan kematian.
5. Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang yang
Memerlukan Pertolongan
6. Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan
Contoh: enyanyikan lagu-lagu yang melanggar
kesusilaan dimuka umum., dll.
7. Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah,
Tanaman dan Pekarangan
Contoh: membiarkan unggas ternaknya berjalan
di kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami., dll.
8. Bab VIII - Pelanggaran Jabatan
9. Bab IX - Pelanggaran Pelayaran
Seorang nakoda kapal Indonesia yang tidak mempunyai
di kapalnya kertas-kertas kapal, buku-buku dan surat-surat yang diharuskan oleh
ketentuan undang-undang., dll.
2. Kejahatan dana Pelanggaran dalam Hukum
Pidana Islam
Dalam khazanah hukum positif, hukum
menurut isinya dapat dibagi menjadi Hukum Privat (Hukum Sipil) dan Hukum
Publik. Hukum Sipil dalam arti luas meliputi Hukum Perdata (Burgelijkrecht)
dan Hukum Dagang (Handelsrecht), sedangkan dalam arti sempit meliputi
Hukum Perdata saja. Hukum Publik terdiri dari Hukum Tata Negara, Hukum
Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Internasional.[17]
Berbeda dengan hukum positif, hukum
Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik.
Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam, pada hukum perdata terdapat
segi segi publik dan pada hukum publik ada segi segi perdatanya. Itulah
sebabnya maka dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang
disebutkan hanyalah bagian bagiannya saja, seperti misalnya; Munakahat,
Wirosah, Mu’amalat dalam arti khusus, jinayat atau âl uqubah, al
ahkam as sulthoniyyah, siyar, dan mukhosamat.[18]
Jarimah (kejahatan) dalam Hukum Pidana
Islam (Jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishash diyat dan ta’zir.
Abd Qodir Awdah membagi jarimah
ta’zir menjadi tiga, yaitu:[19]
- Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda.
- Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
- Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir,
prinsip utama uang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan
melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Di samping
itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.
Dalam Islam, sumber hukum bersumber
dari Allah dan Rasul-Nya, serta dari ijtihad para ulama (ahl ijtihad). Tujuan
dari hukum Islam itu adalah kemaslahatan umat. Islam yang memiliki ajaran yang
sempurna dan universal juga mengandung ajaran tentang hukum pidana yang dalam
hal ini dapat diistilahkan dengan jinayah, atau sebagian Ulama mengistilahkan
dengan sebutan jarimah. Jinayah adalah suatu nama untuk perbuatan atau tindakan
pidana yang dilakukan seseorang yang yang dilarang Syara’, baik itu perbuatan
atas jiwa, harta atau selain jiwa dan harta. Jarimah adalah segala
larangan-larangan yang haram karena dilarang oleh Allah dan diancam dengan
hukuman baik had ataupun ta’zir.
Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta’zir secara
terperinci kepada bebapa bagian, yaitu:[20]
1. Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan.
Pembunuhan itu diancam dengan hukuman
mati. Apabila qishash dimaafkan maka hukumannya adalah diyat. Apabila
diyatnya dimaafkan maka Ulul Amri berhak menjatuhkan ta’zir bila hal ini
dipandang lebih maslahat.
2. Jarimah
ta’zir yang berhubungan dengan pelukaan.
Menurut Imam Malik, hukuman ta’zir
dapat digabungkan dengan qishash dalam jarimah pelukaan, karena qishash
merupakan hak adami, sedangkan ta’zir sebagai imbalan atas hak masyarakat. Di
samping itu, ta’zir juga dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan apabila
qishashnya dimaafkan atau tidak bisa dilaksanakan karena suatu sebab yang
dibenarkan oleh syara’. Hal ini
didasarkan pada penjelasan surat
al-Maidah ayat 45 :
Dan kami Telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,
Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.
Ayat ini diindikasikan behwa setiap
manusia mempunyai hak hidup dan tidak seorangpun yang boleh mengganggu hak
hidup orang lain, sehingga jika terjadi perbuatan yang menyebabkan hilangnya
nyawa orang lain, meskipun dilakukan dengan ketidaksengajaan, maka pelakunya
tidak dibiarkan begitu saja melainkan disuruh membayar ganti rugi.
3. Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan
akhlak.
Jarimah macam ini berkaitan dengan
jarimah zina, menuduh zina, dan penghinaan. Di antara kasus perzinaan yang
diancam dengan ta’zir adalah perzinaan yang tidak memenuhi syarat yang
dikenakan hukum had, atau terhadap syubhat dalam pelakunya, perbuatannya, atau
tempat. Demikian pula kasus percobaan zina dan perbuatan-perbuatan prazina,
seperti meraba-raba, berpelukan dengan wanita yang bukan istrinya, tidur
bersama tanpa hubungan seksual dan sebagainya. Penuduhan zina yang
dikategorikan kepada ta’zir adalah apabila orang yang dituduh itu bukan muhshan. Tuduhan-tuduhan selain tuduhan zina
digolongkan kepada penghinaan dan statusnya termasuk kepada ta’zir, seperti
tuduhan mencuri, mencaci maki dan sebagainya. Panggilan-panggilan seperti wahai
kafir, wahai munafik, wahai fasik, dan semacamnya termasuk penghinaan yang
dikenakan hukuman ta’zir. Karena panggilan tersebut termasuk perbuatan yang
dilaarang oleh Allah sebagaimana ditegaskan dalam surat al_hujurat ayat 11-12 :
11. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka
Itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.
[1409] Jangan mencela dirimu
sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin
seperti satu tubuh.
[1410] panggilan yang buruk
ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan
kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir
dan sebagainya.
4. Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan harta
Jarimah yagn berkaitan dengan harta
adalah jarimah pencurian dan perampokan. Apabila kedua jaarimah tersebut
syarat-syaratnya telah terpenuhi maka pelaku dikenakan hukuman had. Akan
tetapi, apabila syarat untuk dikenakannya hukuman had tidak terpenuhi maka
pelakuk tidak dikenakan hukuman had melainkan hukuman ta’zir. Jarimah yang
termasuk jenis ini antara lain seperti percobaan pencurian, pencopetan,
perjudian dan lain-lain.
5. Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu
Termasuk dalam kelompok ini, antara
lain seperti saksi palsu, berbohong di depan sidang pengadilan, menyakiti
hewan, melanggar hak privacy orang lain misalnya masuk rumah orang lain tanpa
izin.
6. Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
Jarimah yang termasuk dalam kelompok ini
adalah
a. Jarimah yang mengganggu
keamanan Negara/pemerintah, seperti percobaan kudeta
b. Suap
c. Tindakan melampaui batas
dari pegawai/pejabat atau tali dalam menjalankan kewajiban. Seperti penolakan
hakim untuk mengadili suatu perkara
d. Pelayanan yang buruk dari
aparatur pemerintah terhadap masyarakat
e. Melawan petugas
pemerintah dan membangkang terhadap peraturan
f. Melepaskan
narapidana dan menyembunyikan buronan
g. Pemalsuan tanda tangan
dan stempel
h. Kejahatan yang berkaitan
dengan ekonomi.
Klasifikasi jarimah ta’zir:[21]
Dilihat dari hak yang dilanggar, ta’zir dapat
dibagi menjadi dua bagian:
1. Jarimah yang
berkaitan dengan hak Allah.
2. Jarimah yang
berkaitan dengan hak perseorangan.
Dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dibagi
menjadi tiga bagian:
1. Ta’zir atas
perbuatan maksiat.
2. Ta’zir atas
perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
3. Ta’zir atas
pelanggaran (mukhalafah).
BAB III
KESIMPULAN
Dalam KUHP perbuatan pidana dibagi atas
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu
perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak diatur dalam undang-undang sebagai
perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah sebaliknya
yaitu “wetsdeliktem” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan
hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.
Mengenai perbuatan-perbuatan (delik) telah diatur dalam KUHP beserta sanksi pidananya
(pertanggungjawabannya).
Kejahatan merupakan rechtsdelict atau
delik hukum dan pelanggaran merupakan westdelict atau delik
undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar
rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain,
mencuri dan sebagainya. Sedangakan delik undang-undang melanggar apa yang
ditentukan oleh undang-undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi
yang mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenai helm ketika
mengendarai sepeda motor. Disini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.
Dalam Hukum Pidana Positif yang berlaku di Indonesia, kejahatan dan
pelanggaran dibedakan dan diatur secara tegas dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) masing-masing dalam buku kedua dan ketiga KUHP. Sementara dalam
Hukum Pidana Islam juga dikenal istilah kejahan dan pelanggaran seperti yang
dimaksud dengan pelanggaran dalam buku kedua KUHP, semntara dalam Hukum Pidana
Islam tidak ada pemisahan atau aturan secara khusus tentang kejahatan dan
pelanggaran sebagaimana yang terdapat dalam Hukum Pidana Positif. Kejahatan dalam
Hukum Pidana Islam disebut dengan
Jarimah (Perbuatan Pidana) sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pokok
pembahasan diatas, yang bentuk perbuatan tidak jauh berbeda dengan Hukum pidana
Positif, seperti: Pembunuhan, pencurian, kesusilaan, kejahatan terhadap
kehormatan dan lain-lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
A.Djazuli, Prof., Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta:
PT. Kencana, 2010.
Gerry Muhammad
Rizky, Kitab Undang-undang Hukum Pidana & Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana. Permata Press, 2007.
Moh. Erwin Ramadhan, “Hukum Pidana
Islam”, diakses dari http://students.sunan-ampel.ac.id, pada tanggal 06 Juni
pukul 09.57.
Octaviani Putri,
“Hukum Pidana”, diakses dari http://catatansipinguin.blogspot.com, pada tanggal 06 Juni pukul 09.37.
Pipin Syarifin, SH., Hukum Pidana Di
Indonesia. Bandung: PT. Pustaka Setia, 2000.
Romadi Abu
Khonsa, “Hukum Pidana Islam”, diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com,
pada tanggal 06 Juli 2011 pukul 17.31
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. Bandung:
Sinar Baru Algesindo, 2009.
Teguh Prasetyo,
Prof., Dr., MH., SH., Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011. Cet. Ke 2.
Wikipedia, “Hukum
Pidana”, diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki,
pada tanggal 06 Juli 2011 pukul
17.24.
[1]
Wikipedia, “Hukum Pidana”, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki,
pada
tanggal 06 Juli 2011 pukul 17.24.
[2]
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,
2000), h. 13.
[3]
Octaviani Putri, “Hukum Pidana”, diakses dari http://catatansipinguin.blogspot.com,
pada tanggal 06 Juni pukul 09.37.
[4]
Moh. Erwin Ramadhan, “Hukum Pidana Islam”, diakses dari http://students.sunan-ampel.ac.id,
pada tanggal 06 Juni pukul 09.57.
[5]
Romadi Abu Khonsa, “Hukum Pidana Islam”, diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com,
pada tanggal 06 Juli 2011 pukul 17.31,
h. 1.
[6]
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2009), cet.
43, h. 429.
[7]
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh, (Bandung: Kencana, 2011), cet. 3, h.
138.
[8]
Ibid., Khonsa, “Hukum Pidana Islam”, h. 2
[9].
Romadi Abu Khonsa, “Hukum Pidana Islam”, diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com,
pada tanggal 06 Juli 2011 pukul 17.31,
h. 1.
[10]
Ibid., h. 3.
[11]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011), hal. 58.
[12]
Ibid.
[13] Ahmat
Faury, Asas-asas Hukum Pidana. Disampaikan pada pertemuan perkuliahan
Hukum Pidana pada Fakultas Syariah Jurusan Ahwal Syakhsiyah IAIN-SU pada tanggal 13 Mei 2011, h 3.
[14]
Holid Alamsyah, “Kejahatan dan Pelanggaran dalam KUHP”, diakses dari http://holidalamsyah.blogspot.com,
pada tanggal 06 Juni pukul 09.44 .
[15] Gerry
Muhammad Rizky, Kitab Undang-undang Hukum Pidana & Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana. (Permata Press, 2007), h. 25.
[16]
Ibid., h. 129.
[17]
Romadi Abu Khonsa, “Hukum Pidana Islam”, diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com,
pada tanggal 06 Juli 2011 pukul 17.31,
h. 4.
[18]
Ibid.
[19]
Moh. Erwin Ramadhan, “Hukum Pidana Islam”, diakses dari http://students.sunan-ampel.ac.id,
pada tanggal 06 Juni pukul 09.57.
[20]
Romadi Abu Khonsa, “Hukum Pidana Islam”, diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com,
pada tanggal 06 Juli 2011 pukul 17.31,
h. 7.
[21]
Romadi Abu Khonsa, “Hukum Pidana Islam”, diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com,
pada tanggal 06 Juli 2011 pukul 17.31,
h. 8.