CARA
MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA
Untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana pada Jurusan Ahwal Syakhsiyah Semester
IV
D
i
s
u
s
u
n
Oleh:
Rudi
Sofyan /210909171
Taufik
Q Rahman Siagian / 210909177
Diki
Hidayat /210909
Sakilah
Nur Lubis / 210909
Yuliana
/ 210909182
SYAKHSIYAH
JURUSAN AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan puji dan
syukur kepada Allah SWT. Yang telah
memberikan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelasaikan
makalah ini. Yang berjudul "Cara Merumuskan Perbuatan Pidana”.
Saya menyadari bahwa makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan
pakar dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
Medan, April 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ………………………………………………………………….. 2
Daftar
Isi …………………………………………………………………............ 3
BAB
I …………………………………………………………………………… 4
PENDAHULUAN
………………………………………………………………. 4
BAB
II …………………………………………….…………………………….. 4
PEMBAHASAN
………………………………………………………………… 4
A. Pengertian Perbuatan Pidana
……………………………………………... 5
B. Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
…………...………………………… 6
BAB
III ………………………………………………………………………….. 12
PENUTUP
………………………………………………………………………. 12
A. Kesimpulan ………………………………………………………………... 12
B. Saran-saran…………………………………………………………………. 12
Daftar
Pustaka ………………………………….………………………………… 13
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang
dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga
tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan
istilah perbuatan pidana.[1]
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan
pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit
dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti
yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah
yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah
dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan masyarakat
yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum,
misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan
arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih
dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam.Untuk
mengetahui perbuatan-perbuatan pidana lebih lanjut, kita akan membahasnya di
dalam makalah ini.[2]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana merupakan suatu
istilah yang mengadung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, yang
dibentuk oleh kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum
pidana.[3]
Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang
menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana ialah orang
yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut. Menurut
Prof. Moeljatno, SH kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang
abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit,
yaitu:[4]
1) Adanya kejadian yang tertentu.
2) Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan
kejadian itu.
Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah
Inggris, “criminal act”. Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan
dan akibat, atau dengan lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan, yang
dilarang oleh hukum. Criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban
pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya
criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain daripada
melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai
kesalahan (guilt). Antara perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang
erat, dan tak mungkin dipisah-pisahkan. Maka dari itu hemat kami perbuatan
pidana dapat diberi arti: perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
barangsiapa melanggar larangan tersebut.[5]
B. Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
Didalam KUHP, juga
didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana dirumuskan
didalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan
bahwa di bidang hukum pidana kepastian
hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai
oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang
diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih diperlukan penafsiran.[6]
Dalam hukum pidana
Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak pidana
umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidaka terdapat ketentuan
dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih
lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.[7]
Perumusan perbuatan pidana itu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk
disebabkan karena sumber dan dasar penentuan arti perbuatan pidana. Perumusan
perbuatan pidana menurut faham para penulis Belanda, diartikan suatu perbuatan
yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat
diancam dengan pidana. Sedangkan Prof. Moeljatno, SH merumuskan perbuatan
pidana dalam arti suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
barang siapa melanggar larangan tersebut.[8]
Menurut
Prof. Moeljatno, SH., cara merumuskan perbuatan pidana:
Cara
I:[9]
Rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam
buku II dan buku III dengan maksud agar supaya diketahui dengan jelas perbuatan
apa yang dilarang.Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut perlu menentukan
unsur-unsur atau syarat-syarat yang terdapat dalam perbuatan pidana itu.
Misalnya:
- Pencurian, pasal
362 KUHP (Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian,kepunyaan
orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam, karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda
paling banyak Sembilan ratus rupiah).
Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan pencurian ialah:
1. mengambil
2. yang diambil ialah barang milik orang
lain
3. dengan maksud memiliki secara melawan
hukum
- Menadah, pasal 480 ke 1 KUHP
Unsur-unsur
yang terdapat dalam rumusan menadah ialah:
1. membeli, menyewa, menukar, dan sebagainya
2. barang yang diketahuinya atau yang
selayaknya harus diduga berasal dari kejahatan.
Cara
II[10]
Apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan
unsur-unsurnya maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu
pengetahuan dan praktek peradilan.
Misalnya:
Penganiayaan, pasal 351 KUHP. Rumusan dalam pasal tersebut adalah
rumusan umum, batasan-batasannya tidak ditentukan dalam rumusan itu maka ilmu
pengetahuan telah menetapkan bahwa isi daripada “penganiayaan” ialah dengan
sengaja menimbulkan nestapa (leed) atau rasa sakit pada orang lain.
Cara
III[11]
Untuk menentukan perbuatan pidana digunakan selain menentukan
dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi
hakikat dari perbuatan pidana tersebut.
Misalnya:
Seorang pencuri tidak segera menjual hasil curian, tetapi menunggu
waktu dengan hasrat mendapat untung.
Rumusan tersebut memenuhi unsur penadahan, pasal 480 KUHP, namun
karena kualifikasi kejahatannya sebagai pencuri maka tetap melanggar pasal 362
KUHP bukan sebagai penadah.
Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka disitu di jumpai
beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan berserta sangsi nya yang dimakud
untuk menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan.pada
umumnya maksud tersebut dapat di capai dengan menentukan beberapa elemen,unsure
atau syarat yang menjadi cirri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga
dapat di bedakan dari perbuatan – perbuatan lain yang tidak dilarang.
Pencurian misalanya unsure-unsur pokok nya ditentukan sebagai
mengambil barang orang lain. Tetapi tidak tiap – tiap mengambil barang orang
lain .tetapi tidak tiap- tiap mengambil barang orang lain pencurian .
Maka dalam pasal 362 KUHP disamping unsur – unsur tadi ,ditambah
dengan elemen lain yaitu : dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan
hukum.
Adapun cara untuk mengupas perbuatan yang dilarang menjadi beberapa
elemen atau unsure seperti diatas ,tidak dapat dilakukan .ada kala nya hal itu
disebabkan karena pengupasan semacam itu belum mungkin,atau dianggap kurang
baik pada saat membuat aturan,sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang
dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik ,sedangkan batas-batas nya
pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan .
contoh – contoh dari car ini adalah pasal 351 yaitu : penganiayaan ,dan pasal
297 yaitu perdagangan wanita ( vrouwen handel ).
Mengenai penganiayaan dalam teori pengertian tersebut telah dikupas
menjadi menimbulkan nestapa ( leed ) atau rasa sakit ( pijin ) pada orang lain
tapi mengenai perdagangan wanita,batas – batas pengertiannya hingga sekarang
belum di ketemukan. Karena hanya di tentukan pengertian umum saja,maka cara
merumuskan perbuatan pidana semacam ini ,dikatakan memberi.kualifikasinya
perbuatan saja.
Dalam KUHP selain dari menetukan unsur-unsurnya perbuatan yang
dilarang disitu juga diberi kualifikasi perbuatan .misalnya pada pasal 362 dan
480 tadi ,disamping penentuan elemen – elemenya juga ditentukan bahan
kualifikasi nya adalah “pencurian” dan “penadahan”.
Berkaitan dengan cara yang demikian ini,maka diajukan soal,apakah
dalam hal yang demikian ,kualifikasi harus dipandang sebagai singkatan atau
kata pendek bagi perbuatan yang dirumuskan disitu ,ataukah juga mempunyai arti
sendiri ,lepas dari penentuan unsur-unsur,sehingga ada dua batasannya untuk
perbuatan yang dilarang.yaitu batasan menurut unsur-unsurnya dan menurut
pengertian yang umum (kualifikasi).
Menurut perkataan dalam Memorie van Tpelichting ( MvT ) tidak ada keraguan-keraguan
bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi disamping
penentuan unsur-unsur,adakah sekedar untuk menggampangkan penyebutan perbuatan
yang dilarang saja .jadi laksana suatu etikat untuk apa yang terkandung dalam
rumusan.akan tetapi,demikian van Hattum dalam praktek peradilan ada tendens
atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi.misalnya dalam
putusan Hoog Raad tahun 1927 mengenai penadahan dimana diputuskan bahwa pencuri
yang menjual barang yang dicuri menarik keuntungan,tak mungkin dikenai pasal
tentang penadahan .sekalipun dengan apa yang diperbuat nya itu ,semua
unsur-unsur yang ada dalam pasal 480 telah dipenuhi.sebab pasal ini maksudnya
adalah untuk mempermudah dilakukannya kejahatan lain .perbuatan itu dilakukan
oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan lain .perbuatan itu
dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan dan dari mana
barang tadi didapat nya.[12]
Juga dalam teori hal itu menjadi persoalan.kalau ada orang lain yang
kecurian sesuatu barang,kemudian orang tadi pergi ke tempat loak ,melihat
barangnya disitu serta membeli barang nya tadi,apakah orang itu juga dapat di
tuntut karena pasal 480 ? menurut unsur – unsurnya,perbuatanya masuk dalam
pasal tersebut dia membeli barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan.tapi
bertalian dengan itu ada juga yang mengatakan : bahwa orang tadi sesungguhnya
tidak “ membeli “ barang tersebut ,sebab barang sendiri ,sehingga tidak mungkin
dinamakan penadahan .jadi tidak masuk dalam kualifikasi pasal 480 KUHP
,sekalipun unsur-unsur telah dipenuhi .
Jika sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tiap
delik,dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material .apa artinya ini
akan diterangkan nanti kalau mengahadapi masalah tersebut . misalnya dalam
pasal 362 KUHP mengenai pencurian ,yang penting ialah kelakuan untuk
memindahkan penguasan barang yang telah dicuri .dalam kelakuan dirumuskan
sebagai “mengambil”. Akibat dari pengambilan tadi ,misalnya dalam pencurian
sepeda .bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit ,tidak
dipandang penting dalam formularing dalam pencarian .
Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan
(pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (pasal 338) karena yang dianggap pokok untuk
dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya
atau dibunuh.
Perlu diajukan pula,ada rumusan –rumusan yang formal-material
.artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibat
nya Contoh nya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan .akibat yaitu bahwa orang
yang ditipu tergerak hati nya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang
menipu ,mengingatkan pada rumusan yang material.meskipun demikian tidak tiap –
tiap cara untuk menggerak hati orang yang ditipu,masuk dalam pengertian
penipuan menurut pasal 378 . disini terang ada rumusan formal.
Mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya diadakan perbedaan ?
Jawabanya ialah : oleh karena perbedaan perumusan itu disatu pihak
mempunyai konsenkuensi lain dalam pembuktian ; dipihak lain .bertalian dengan
yang pertama berlainan juga pengaruhnya kepada masyarakat apakah suatu
perbuatan yang perlu dilarang dengan sangsi pidana dirumuskan secara formil
atau materil .hal ini ternyata dalam sejarah pasal 154 KUHP yang dulunya
dirumuskan secara material ,dan kemudian untuk memudahkan pembuktian diubah
menjadi formal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan yang mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut ada 3 cara dalam
memutuskan perbuatan pidana:
1. Rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam
KUHP khususnya dalam Buku II dan Buku III dengan maksud agar supaya diketahui
dengan jelas perbuatan apa yang dilarang.
2. Apabila rumusan pasal
perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya maka batas pengertian
rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.
3. Untuk menentukan
perbuatan pidana digunakan selain menentukan dengan unsur-unsur perbuatan
pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari perbuatan pidana
tersebut.
Dalam KUHP perbuatan pidana dibagi atas kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak
diatur dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai
onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan
pelanggaran adalah sebaliknya yaitu “wetsdeliktem” yaitu perbuatan-perbuatan
yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang
menentukan demikian. Mengenai perbuatan-perbuatan (delik) telah diatur dalam
KUHP beserta sanksi pidananya (pertanggungjawabannya) yang telah disebutkan
dalam makalah yang telah lewat.
B. Saran-saran
Dalam Penulisan
makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan
kesalahan. Untuk itu kepada pembaca kami mohon kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hardi, Dwi “Cara atau Teknik untuk merumuskan perbuatan Pidana”
, diakses dari: http://dwihardispersonality.blogspot.com/2010/09/cara-atau-thenik-untuk-merumuskan.html,
pada tanggal 13 April 2011 pukul 14.25.
Huda, Chairul, Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan, Jakarta: PT. Kencana, 2006.
Gerry Muhammad
Rizky, Kitab Undang-undang Hukum Pidana & Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana. Permata Press, 2007.
Moelajtno,
Prof, SH, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Pipin Syarifin,
SH. Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: PT. Pustaka Setia, 2000.
Prasetyo,
Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Umam Roqi, “Perbuatan
Pidana”, diakses dari http://umamboyroqidafa.wordpress.com/, pada tanggal
13 April 2011 pukul 14.21.
[1]
Umam Roqi, “Perbuatan Pidana”, diakses dari http://umamboyroqidafa.wordpress.com/,
pada tanggal 13 April 2011 pukul 14.21.
[2]
Ibid.
[3]
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia,
2000), hal. 51.
[4]
Umam Roqi, “Perbuatan Pidana” (www.umamboyroqidafa.wordpress.com).
[5]
Ibid.
[6]
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2011), hal. 55-56.
[7]
Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: PT. Kencana, 2006),
hal. 31.
[8]
Umam Roqi, “Perbuatan Pidana” (www.umamboyroqidafa.wordpress.com).
[9]
Ibid.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12]
Dwi Hardi, “Cara atau Teknik untuk merumuskan perbuatan Pidana” ,
diakses dari: http://dwihardispersonality.blogspot.com/2010/09/cara-atau-thenik-untuk-merumuskan.html,
pada tanggal 13 April 2011 pukul 14.25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar