Minggu, 07 Oktober 2012

CARA MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA



CARA MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana pada Jurusan Ahwal Syakhsiyah Semester IV
D
i
s
u
s
u
n
Oleh:
Rudi Sofyan /210909171
Taufik Q Rahman Siagian / 210909177
Diki Hidayat /210909
Sakilah Nur Lubis / 210909
Yuliana / 210909182

SYAKHSIYAH JURUSAN AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
KATA PENGANTAR
Kami  mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.  Yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini. Yang berjudul "Cara Merumuskan Perbuatan Pidana”.
 Saya menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan pakar dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
                                                                       
Medan,    April 2011


Penyusun











DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………..    2
Daftar Isi …………………………………………………………………............    3
BAB I ……………………………………………………………………………    4
PENDAHULUAN ……………………………………………………………….   4
BAB II  …………………………………………….……………………………..   4
PEMBAHASAN …………………………………………………………………   4
    A.  Pengertian Perbuatan Pidana ……………………………………………...    5
    B.  Cara Merumuskan Perbuatan Pidana …………...…………………………    6
BAB III …………………………………………………………………………..   12
PENUTUP ……………………………………………………………………….    12
    A. Kesimpulan ………………………………………………………………...    12
    B. Saran-saran………………………………………………………………….    12
Daftar Pustaka            ………………………………….…………………………………   13








BAB I
PENDAHULUAN
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana.[1]
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.
Adakalanya istilah dalam pengertian hukum telah menjadi istilah dalam kehidupan masyarakat, atau sebaliknya istilah dalam kehidupan masyarakat yang dipergunakan sehari-hari dapat menjadi istilah dalam pengertian hukum, misalnya istilah percobaan, sengaja, dan lain sebagainya. Sebelum menjelaskan arti pentingnya istilah perbuatan pidana sebagai pengertian hukum, terlebih dahulu dibentangkan tentang pemakaian istilah perbuatan pidana yang beraneka ragam.Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan pidana lebih lanjut, kita akan membahasnya di dalam makalah ini.[2]





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengadung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, yang dibentuk oleh kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.[3]
Dalam rumusan tersebut, bahwa yang dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH kata perbuatan dalam perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit, yaitu:[4]
1)     Adanya kejadian yang tertentu.
2)     Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris, “criminal act”. Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan, yang dilarang oleh hukum. Criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt). Antara perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat, dan tak mungkin dipisah-pisahkan. Maka dari itu hemat kami perbuatan pidana dapat diberi arti: perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.[5]


B.      Cara Merumuskan Perbuatan Pidana
            Didalam KUHP, juga didalam Perundang-undangan pidana yang lain. Tindak pidana dirumuskan didalam  pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana        kepastian hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh asas legalitas pada pasal 1 ayat 1 KUHP. Untuk benar-benar yang apa yang diamaksudkan didalam pasal-pasl itu masih diperlukan penafsiran.[6]
            Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana di Negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya di rumuskan dalam kodifikasi. Namun demikian, tidaka terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagaimana merumuskan suatu tindak pidana.[7]
Perumusan perbuatan pidana itu dapat dibedakan menjadi tiga bentuk disebabkan karena sumber dan dasar penentuan arti perbuatan pidana. Perumusan perbuatan pidana menurut faham para penulis Belanda, diartikan suatu perbuatan yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat diancam dengan pidana. Sedangkan Prof. Moeljatno, SH merumuskan perbuatan pidana dalam arti suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.[8]
Menurut Prof. Moeljatno, SH., cara merumuskan perbuatan pidana:
Cara I:[9]
Rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam buku II dan buku III dengan maksud agar supaya diketahui dengan jelas perbuatan apa yang dilarang.Untuk mengetahui maksud rumusan tersebut perlu menentukan unsur-unsur atau syarat-syarat yang terdapat dalam perbuatan pidana itu.
Misalnya:
-         Pencurian, pasal 362 KUHP (Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian,kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam, karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah).
Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan pencurian ialah:
1.      mengambil
2.      yang diambil ialah barang milik orang lain
3.      dengan maksud memiliki secara melawan hukum

-         Menadah, pasal 480 ke 1 KUHP
Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan menadah ialah:
1.      membeli, menyewa, menukar, dan sebagainya
2.      barang yang diketahuinya atau yang selayaknya harus diduga berasal dari kejahatan.

Cara II[10]
Apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek peradilan.
Misalnya:
Penganiayaan, pasal 351 KUHP. Rumusan dalam pasal tersebut adalah rumusan umum, batasan-batasannya tidak ditentukan dalam rumusan itu maka ilmu pengetahuan telah menetapkan bahwa isi daripada “penganiayaan” ialah dengan sengaja menimbulkan nestapa (leed) atau rasa sakit pada orang lain.

Cara III[11]
Untuk menentukan perbuatan pidana digunakan selain menentukan dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari perbuatan pidana tersebut.
Misalnya:
Seorang pencuri tidak segera menjual hasil curian, tetapi menunggu waktu dengan hasrat mendapat untung.
Rumusan tersebut memenuhi unsur penadahan, pasal 480 KUHP, namun karena kualifikasi kejahatannya sebagai pencuri maka tetap melanggar pasal 362 KUHP bukan sebagai penadah.
Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka disitu di jumpai beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan berserta sangsi nya yang dimakud untuk menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan.pada umumnya maksud tersebut dapat di capai dengan menentukan beberapa elemen,unsure atau syarat yang menjadi cirri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dapat di bedakan dari perbuatan – perbuatan lain yang tidak dilarang.

Pencurian misalanya unsure-unsur pokok nya ditentukan sebagai mengambil barang orang lain. Tetapi tidak tiap – tiap mengambil barang orang lain .tetapi tidak tiap- tiap mengambil barang orang lain pencurian .
Maka dalam pasal 362 KUHP disamping unsur – unsur tadi ,ditambah dengan elemen lain yaitu : dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.
Adapun cara untuk mengupas perbuatan yang dilarang menjadi beberapa elemen atau unsure seperti diatas ,tidak dapat dilakukan .ada kala nya hal itu disebabkan karena pengupasan semacam itu belum mungkin,atau dianggap kurang baik pada saat membuat aturan,sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik ,sedangkan batas-batas nya pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan . contoh – contoh dari car ini adalah pasal 351 yaitu : penganiayaan ,dan pasal 297 yaitu perdagangan wanita ( vrouwen handel ).
Mengenai penganiayaan dalam teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi menimbulkan nestapa ( leed ) atau rasa sakit ( pijin ) pada orang lain tapi mengenai perdagangan wanita,batas – batas pengertiannya hingga sekarang belum di ketemukan. Karena hanya di tentukan pengertian umum saja,maka cara merumuskan perbuatan pidana semacam ini ,dikatakan memberi.kualifikasinya perbuatan saja.
Dalam KUHP selain dari menetukan unsur-unsurnya perbuatan yang dilarang disitu juga diberi kualifikasi perbuatan .misalnya pada pasal 362 dan 480 tadi ,disamping penentuan elemen – elemenya juga ditentukan bahan kualifikasi nya adalah “pencurian” dan “penadahan”.
Berkaitan dengan cara yang demikian ini,maka diajukan soal,apakah dalam hal yang demikian ,kualifikasi harus dipandang sebagai singkatan atau kata pendek bagi perbuatan yang dirumuskan disitu ,ataukah juga mempunyai arti sendiri ,lepas dari penentuan unsur-unsur,sehingga ada dua batasannya untuk perbuatan yang dilarang.yaitu batasan menurut unsur-unsurnya dan menurut pengertian yang umum (kualifikasi).
Menurut perkataan dalam Memorie van Tpelichting ( MvT ) tidak ada keraguan-keraguan bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi disamping penentuan unsur-unsur,adakah sekedar untuk menggampangkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja .jadi laksana suatu etikat untuk apa yang terkandung dalam rumusan.akan tetapi,demikian van Hattum dalam praktek peradilan ada tendens atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi.misalnya dalam putusan Hoog Raad tahun 1927 mengenai penadahan dimana diputuskan bahwa pencuri yang menjual barang yang dicuri menarik keuntungan,tak mungkin dikenai pasal tentang penadahan .sekalipun dengan apa yang diperbuat nya itu ,semua unsur-unsur yang ada dalam pasal 480 telah dipenuhi.sebab pasal ini maksudnya adalah untuk mempermudah dilakukannya kejahatan lain .perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan lain .perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan dan dari mana barang tadi didapat nya.[12]
Juga dalam teori hal itu menjadi persoalan.kalau ada orang lain yang kecurian sesuatu barang,kemudian orang tadi pergi ke tempat loak ,melihat barangnya disitu serta membeli barang nya tadi,apakah orang itu juga dapat di tuntut karena pasal 480 ? menurut unsur – unsurnya,perbuatanya masuk dalam pasal tersebut dia membeli barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan.tapi bertalian dengan itu ada juga yang mengatakan : bahwa orang tadi sesungguhnya tidak “ membeli “ barang tersebut ,sebab barang sendiri ,sehingga tidak mungkin dinamakan penadahan .jadi tidak masuk dalam kualifikasi pasal 480 KUHP ,sekalipun unsur-unsur telah dipenuhi .
Jika sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tiap delik,dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material .apa artinya ini akan diterangkan nanti kalau mengahadapi masalah tersebut . misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian ,yang penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasan barang yang telah dicuri .dalam kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”. Akibat dari pengambilan tadi ,misalnya dalam pencurian sepeda .bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit ,tidak dipandang penting dalam formularing dalam pencarian .
Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (pasal 338) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh.
Perlu diajukan pula,ada rumusan –rumusan yang formal-material .artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibat nya Contoh nya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan .akibat yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hati nya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu ,mengingatkan pada rumusan yang material.meskipun demikian tidak tiap – tiap cara untuk menggerak hati orang yang ditipu,masuk dalam pengertian penipuan menurut pasal 378 . disini terang ada rumusan formal.
Mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya diadakan perbedaan ?
Jawabanya ialah : oleh karena perbedaan perumusan itu disatu pihak mempunyai konsenkuensi lain dalam pembuktian ; dipihak lain .bertalian dengan yang pertama berlainan juga pengaruhnya kepada masyarakat apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan sangsi pidana dirumuskan secara formil atau materil .hal ini ternyata dalam sejarah pasal 154 KUHP yang dulunya dirumuskan secara material ,dan kemudian untuk memudahkan pembuktian diubah menjadi formal.


















BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut ada 3 cara dalam memutuskan perbuatan pidana:
1.   Rumusan perbuatan pidana yang terdapat dalam KUHP khususnya dalam Buku II dan Buku III dengan maksud agar supaya diketahui dengan jelas perbuatan apa yang dilarang.
2.  Apabila rumusan pasal perbuatan pidana tidak mungkin ditentukan unsur-unsurnya maka batas pengertian rumusan tersebut diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.
3.  Untuk menentukan perbuatan pidana digunakan selain menentukan dengan unsur-unsur perbuatan pidana yang dilarang juga ditentukan kualifikasi hakikat dari perbuatan pidana tersebut.
Dalam KUHP perbuatan pidana dibagi atas kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak diatur dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran adalah sebaliknya yaitu “wetsdeliktem” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Mengenai perbuatan-perbuatan (delik) telah diatur dalam KUHP beserta sanksi pidananya (pertanggungjawabannya) yang telah disebutkan dalam makalah yang telah lewat.
B. Saran-saran
            Dalam Penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu kepada pembaca kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hardi, Dwi “Cara atau Teknik untuk merumuskan perbuatan Pidana” , diakses dari: http://dwihardispersonality.blogspot.com/2010/09/cara-atau-thenik-untuk-merumuskan.html, pada tanggal  13 April 2011 pukul 14.25.

Huda, Chairul, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PT. Kencana, 2006.
Gerry Muhammad Rizky, Kitab Undang-undang Hukum Pidana & Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Permata Press, 2007.
Moelajtno, Prof, SH, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Pipin Syarifin, SH. Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: PT. Pustaka Setia, 2000.
Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.
Umam Roqi, “Perbuatan Pidana”, diakses dari http://umamboyroqidafa.wordpress.com/, pada tanggal 13 April 2011 pukul 14.21.


[1] Umam Roqi, “Perbuatan Pidana”, diakses dari http://umamboyroqidafa.wordpress.com/, pada tanggal 13 April 2011 pukul 14.21.
[2] Ibid.
[3] Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 51.
[4] Umam Roqi, “Perbuatan Pidana” (www.umamboyroqidafa.wordpress.com).
[5] Ibid.
[6] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 55-56.
[7] Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: PT. Kencana, 2006), hal. 31.
[8] Umam Roqi, “Perbuatan Pidana” (www.umamboyroqidafa.wordpress.com).
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Dwi Hardi, “Cara atau Teknik untuk merumuskan perbuatan Pidana” , diakses dari: http://dwihardispersonality.blogspot.com/2010/09/cara-atau-thenik-untuk-merumuskan.html, pada tanggal  13 April 2011 pukul 14.25.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar