Minggu, 07 Oktober 2012

ISLAM DAN KEMANUSIAAN



ISLAM DAN KEMANUSIAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam (MSI) Pada Jurusan Ahwal Syahksiyah-B Semester III
D
I
s
u
s
u
n
Oleh:
Rudi Sofyan / 210909171
Syarifuddin Mahyuzar Daulay / 210909176                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
Pembanding:
Zulaily
Dosen pembimbing:
Fuji Rahmadi, MA
JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.  Yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini. Yang berjudul " Islam dan Kemanusiaan.
 Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan pakar dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
                                                                              Medan,    Januari  2011



Penyusun











DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................................... 3
BAB I......................................................................................................... 4
PENDAHULUAN......................................................................................... 4
    A. Latar Belakang.................................................................................... 4
    B. Rumusan Masalah.............................................................................. 5
BAB II........................................................................................................ 6
PEMBAHASAN........................................................................................... 6
    A. Kedudukan Manusia........................................................................... 6
    B. Tugas Manusia.................................................................................... 10
    C. Manusia Sebagai Khalifah.................................................................... 12
BAB III....................................................................................................... 14
PENUTUP.................................................................................................. 14
    A. Kesimpulan........................................................................................ 14
    B. Analisis............................................................................................... 14
Daftar Pustaka........................................................................................... 15





BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri, nilai-nilai humanisme universal memang menjadi pesan umum dari seluruh agama di dunia. Hanya saja, dalam Islam, kita dapat menemukan contoh praksisnya dalam kehidupan Rasulullah di seluruh dimensi kehidupan, dari tingkat individu hingga level negara. Humanisme dalam bingkai tauhid itulah yang menjadikan daulah Islamiyah pada zaman Nabi hingga Khulafaurrasyidin menjadi negara egaliter meskipun kekuasaan sangat terpusat pada sosok khalifah dan lembaga penyeimbang eksekutif belum kuat, jika tidak dibilang belum ada.[1]
Akan tetapi, sangat disayangkan, saat ini ketika berjuta manusia membutuhkan panduan yang rigid untuk kembali pada fitrah kemanusiaannya, Islam hanya ditonjolkan wajah ritual simboliknya. Bahkan tidak jarang justru ditafsirkan secara literal sebagai justifikasi berlangsungya suatu rezim feodal, kekerasan, dan teror. Tauhid pun seakan dibatasi penerapannya hanya menjadi bidang kajian keilmuan, namun tanpa praktek nyata di lapangan. Sehingga pada akhirnya Islam tenggelam dalam kejumudan umatnya, dan kehilangan aura humanisme universalnya. Nah, jika dalam pandangan sains saat ini sedang ngetrend mengenai istilah integralisme agar sains lebih memberi sumbangan positif pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Maka, tidak ada salahnya jika cara pandang integral tadi juga diterapkan pada pemahaman keislaman. Mungkin ini saatnya pandangan fiqh-sentris, khilafah-sentris, tekstual-sentris, dan juga kontekstual-sentris mulai diintegrasikan agar aura keislaman yang manusiawi muncul kembali dan pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada kehidupan manusia secara keseluruhan.[2]

B.       Rumusan Masalah
1.   Kedudukan Manusia
2.   Tugas Manusia
3.   Manusia Sebagai Khalifah






















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Kedudukan Manusia
Jalalaludin Rahmat  (lihat Budhy Munawar Rachman (ed.), 1994: 75-80) menulis sebuah artikel enagn judul “Konsep-konsep Antropologis”. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa dala Al-Quran terdapat tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia: basyar, insan dan al-nas.[3]
1.      Basyar
Basyar yang dalam Al-Quran disebut sebanyak 27 kali, memberikan referensi  pada manusia sebagai makhluk biologis. Adapun acuan pendapat ini adalah surat Ali-Imran [3]: 47; Al-Kahfi  [18]: 110; Fushilat [41]: 6; Al-Furqan [25]: 7; dan Yusuf [12]: 31.[4]
Sebagai makhluk biologis manusia dapat dilihat dari perkataan Maryam kepada Allah: “Tuhanku, bagaimana mungkin aku memounyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar” (Ali-Imran [3]: 47).[5]
2.      Insan
Adapun kata insan, yang dalam al-Quran disebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokkan kedalam tiga kategori: pertama, insan dihubungkan dengan konsep manusia sebagai  khalifah atau pemikul  amanah; kedua, insan dihubungkan dengan predisposisi negatif manusia; dan ketiga, insan duhubungkan dengan proses penciptaan manusia. Semua konsep insan menunjuk pada konsep-konsep psikologis da spiritual.[6]
3.      Al-Nas
Konsep kunci yang ketiga adalah al-nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Ia disebut  dalam Al-Quran sebanyak 240 kali.
Kedudukan manusia dapat ditinjau dari dua segi:
1.      Segi hubungannya dengan Tuhan

Dari segi hubungan dengan tuhan adalah kedudukan manusia sebagai hamba (makhluq) dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk tuhan adalah makhluk terbaik.[7]

Dikeluarkan oleh Ibnu Mardawiyah dari Aishah r.a. yang berkata: Aku telah bertanya: Wahai Rasulullah!, siapakah yang paling mulia di antara makhluk di sisi Allah s.w.t.?. Baginda menjawab: "Wahai Aishah, tidakkah engkau membaca:
"Sesungguhnya Orang-orang yang beriman dan beramal saleh adalah sebaik-baik makhluk"
Dikeluarkan oleh Ibnu Asakir daripada Jabir bin Abdullah Al-Ansari r.a. yang berkata bahawa adalah kami berada di sisi Rasulullah s.a.w., maka tiba-tiba Ali datang, lantas baginda s.a.w. bersabda:" Demi jiwaku di dalam genggamannya, sesungguhnya (lelaki) ini dan pengikut-pengikutnya bagi mereka kejayaan di hari kiamat", dan turunlah:
"Sesungguhnya Orang-orang yang beriman dan beramal saleh adalah sebaik-baik makhluk"
Dikeluarkan oleh Ibnu Adi dari Ibnu Abbas r.a. ketika turunnya ayat:
"Sesungguhnya Orang-orang yang beriman dan beramal saleh adalah sebaik-baik makhluk".
Lantas Rasulullah bersabda kepada Ali k.w.h.: Engkau dan para pengikut-pengikut engkau di hari kiamat redha-diredhai".
Di keluarkan oleh Ibnu Mardawiyah dari Ali k.w.h. yang berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Adakah tidak engkau mendengar perkataan Allah :
"Sesungguhnya Orang-orang yang beriman dan beramal saleh adalah sebaik-baik makhluk"
Lantas Rasulullah s.a.w. bersabda: Engkau dan pengikut-pengikut engkau, janjiku dan janjimu adalah kolam di dalam syurga apabila engkau datang bersama ummat manusia untuk perkiraan".
Kerana kemuliaan yang Allah berikan kepada manusia inilah maka Al-Quran membentangkan manifestasinya di dalam peristiwa para malaikat seluruhnya diperintahkan oleh Allah s.w.t. supaya tunduk kepada Adam a.s.:  
Maksudnya:
Dan ingatlah, ketika kami berkata kepada para malaikat: sujudlah kamu semua kepada Adam, lantas seluruhya sujud kecuali Iblis, yang enggan dan membesarkan diri, dan ia adalah tergolong dalam golongan yang kufur".
Di atas kemulian ini Allah s.w.t. telah mencipta manusia di dalam sebaik-baik bentuk, kesempurnaan kejadian dari segi lahiriah (fizikal), dengan bentuk tubuh badan yang bernilai dan memerlukan alam persekitaran hidup yang sesuai bagi naluri mereka serta memakan dan menikmati shahwat yang disalukan dengancara yang murni. Begitu juga kesempurnaan kejadian dari segi batiniyah yang diperhiaskan dengan akal, hati dan perasaan yang dapat dikendalikan. Untuk semua Aspek inilah Allah menyatakan di dalam Al-Quran:
maksudnya: "Dan demi sesungguhnya kami ciptakan manusia di dalam sebaik-baik bentuk.
Lantaran manusia juga diperhiaskan dengan hawa nafsu, maka apabila mereka berjaya di dalam pertarungan dengan hawa nafsu tersebut dan mengabdi kepada Allah s.w.t. mereka akan mendapat kedudukan yang tertinggi di sisi Allah s.w.t. berbanding dengan para malaikat yang mengabdikan diri kepada Allah mengikut tabiat yang dikurniakan tanpa pertarungan dengan hawa nafsu. Tetapi apabila manusia gagal di dalam pertarungan dengan hawa nafsu maka mereka akan lebih hina daripada haiwan.
Di antara beberapa kurniaan untuk menjaga kemuliaan manusia:
Di dalam surah Isra ayat 70, terdapat ungkapan Allah yang berbunyi:
Wahamalna fil barri wal bahri wa razaqnahum minatthaiyibat" yang bermaksud:"Dan kami berikan rezeki kepada mereka daripada (daripada barang-barang perhiasan) yang baik-baik".
Maka dari ungkapan ini kita dapat memahami sebahagian dari kurniaan Allah s.w.t. yang bertujuan untuk memuliakan mereka berbanding dengan makhluk yang lain.
Manusia diberi kemampuan untuk menghasilkan berbagai jenis kenderaan yang boleh dipergunakan bagi perjalanan di darat, di laut dan di udara dengan menempuh dengan berbagai suhu dan cuaca. Pencapaian ini yang dianggap oleh golongan yang tidak beriman sebagai pencapain semulajadi mereka, tanpa mereka menyedari bahawa diri mereka sendiri dicipta oleh Allah s.w.t.. Demikian juga orang-orang yang beriman berkemungkinan sebahagian daripada mereka menganggap bahawa pencapaian ini asing dari tamaddun manusia yang dirakam oleh Allah s.w.t., mereka lupa kepada pelayaran bahtera nabi Yunus a.s. di dalam perut ikan, perjalanan Rasulullah s.a.w. di malam israk dan mikraj dan sebagainya.
Seterusnya Allah s.w.t. menyatakan secara umum penghalalan bagi manusia barang-barang yang baik dengan berbagai penghasilan yang sah di sisi Allah s.w.t. dan pengharaman bagi manusia barang-barang buruk (jijik) atau penghasilan yang tidak sah di sisi Allah s.w.t.. Di dalam hal ini Allah s.w.t. berfirman:
yang bermaksud:" Dan Allah menghalalkan bagi mereka itu barang-barang yang baik dan ia mengharamkan bagi mereka itu barang-barang yang buruk”.
Dari pernyataan secara umum ini maka penelitian hukum yang berhubung dengan halal dan haram terhadap segala macam barang-barang samaada yang yang terdiri dari makanan ataupun pakaian diberikan perhatian yang serius oleh para ulama sejak zaman "mutaqaddimin" dengan ijtihad yang kuat hujjahnya sehingga berhati-hati terhadap perkara yang tidak diharamkan oleh Allah s.w.t. secara jelas supaya ditinggalkan kerana dibimbangi penyalahgunaannya akan terjatuh di dalam kemurkaan Allah s.w.t.
Dengan penelitian ini kaedah-kaedah umum dari penyataan Allah s.w.t. dapat dipelihara dan tidak dinodai dengan berbagai tanggapan yang dapat diterima oleh lojik dan dipadankan dengan analisa yang terlalu jauh dari dasar dan tujuan Allah s.w.t. mencipta manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
2.      Segi hubungannya dengan Makhluk
Dari segi hubungan dengan makhluk adalah kedudukan manusia sebagai makhluk Individu dan makhluk sosial; makhluk biologis dan makhluk psikologis spiritual.
Dalam Al-Quran Surah Al-Israk, ayat 70 Allah mengatakan:
"Dan sesunggunya kami telah muliakan anak-anak adam, dan kami telah berikan kenderaan kepada mereka di darat dan di laut, dan kami telah beri rezeki kepada mereka dari rezeki yang baik-baik, dan kami telah lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk-makhluk lain yang telah kami ciptakan dengan kelebihan yang sepenuhnya".
Periwayatan yang dinukilkan oleh Ibnu Katsir mengenai ayat tersebut:
Ibnu Asakir meriwayatkan satu periwayatan dengan sanadnya yang sampai kepada Anas bin Malik r.a. daripada rasulullah s.a.w. yang bersabda:"Tuhan kami, engkau jadikan kami dan jadikan anak Adam, dan engkau jadikan mereka memakan makanan, meminum minuman, memakai pakaian, mengahwini wanita, menuggangi binatang-binatang (kenderaan), tidur dan berehat dan engkau tidak jadikan bagi kami sesuatu yang demikian itu, maka jadikan mereka dunia dan jadikanlah akhirat bagi kami. Allah s.w.t. berfirman: Tidak!, Aku jadikan mereka yang telah aku ciptakan dengan kedua-dua tanganku, dan aku telah tiupkan roh padanya, sebagaimana orang-orang yang aku berkata kepadanya "jadi" maka jadilah"[8]
Allah berfirman dalam Surah Al-Bayyinah Ayat 7 :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk
Periwayatan yang dinukilkan oleh Imam As-Sayuthi mengenai ayat tersebut:
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim daripada Abu Hurairah r.a. yang berkata bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:Adakah kamu merasa hairan mengenai kedudukan malaikat di sisi Allah s.w.t.. Demi jiwaku di dalam genggamannya, sesungguhnya kedudukan hamba yang beriman di sisi Allah s.w.t. di hari kiamat lebih besar daripada kedudukan malaikat, bacalah jika kamu mengkehendaki: " [9]
B.     Tugas Manusia
Manusia diciptakan oleh Allah SWT agar menyembah kepadanya. Kata menyembah sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun. Beribadah berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk mengikuti kehendaknya, baik secara sukarela maupun terpaksa.[10]
1. Ibadah muhdah (murni), yaitu ibadah yang telah ditentukan waktunya, tata caranya, dan syarat-syarat pelaksanaannya oleh nas, baik Al Qur’an maupun hadits yang tidak boleh diubah, ditambah atau dikurangi. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
2. Ibadah ‘ammah (umum), yaitu pengabdian yang dilakuakn oleh manusia yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas dan kegiatan hidup yang dilaksanakan dalam konteks mencari keridhaan Allah SWT
Jadi, setiap insan tujuan hidupnya adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT, karena jiwa yang memperoleh keridhaan Allah adalah k=jiwa yang berbahagia, mendapat ketenangan, terjauhkan dari kegelisahan dan kesengsaraan bathin. Sedankan diakhirat kelak, kita akan memperoleh imbalan surga dan dimasukkan dalam kelompok hamba-hamba Allah SWT yang istimewa. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhainya. Maka masuklah dalam jamaah hamba-hambaku. Dan masuklah ke dalam surgaku.” (QS Al Fajr : 27-30)
Selama hidup di dunia manusia wajib beribadah, menghambakan diri kepada Allah. Seluruh aktivitas hidupnya harus diarahkan untuk beribadah kepadanya. Islam telah memberi petunjuk kepada manusia tentang tata cara beribadah kepada Allah. Apa-apa yang dilakukan manusia sejak bangun tidur samapai akan tidur harus disesuaikan dengan ajaran Islam.
Jin dan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT mempunayi tugas pokok di muka bumi, yaitu untuk mengabdi kepada Allah SWT. Pengabdian yang dikehendaki oleh Allah SWT adlah bertauhid kepadanya, yakni bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Jin dan manusia wajib mengesakan Allah dalam segala situasi dan kondisi, baik dalam keadaan suka maupun duka.
Petunjuk Allah hanya akan diberikan kepada manusia yang taat dan patuh kepada Allah dan rasulnya, serta berjihad dijalannya. Taat kepada Allah dibuktikan dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Taat kepada rasul berarti bersedia menjalankan sunah-sunahnya. Kesiapan itu lalu ditambah dengan keseriusan berjihad, berjuang di jalan Allah dengan mengorbankan harta, tenaga, waktu, bahkan jiwa.
C.      Manusia Sebagai Khalifah
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
1. Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus mengeksplorasi kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka sepatutnyalah hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat melanjutkan eksplorasi itu.
2. Memelihara Bumi
Melihara bumi dalam arti luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM (sumber daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu perlu dihindari.
Allah menciptakan alam semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia mempunyai tujuan yang jelas, yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya, manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam).
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat tentu kita akan menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak melakukan pengrusakan terhadap Alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti firmannya dalam surat Al Qashash ayat 77 yang berbunyi:
dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS AL Qashash : 7)
            Dan dalam surat Al-Baqarah ayat 30 Allah berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Maksud ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya Allah bahwa sesungguhnya Allah berfirman kepada sekalian malaikat memberitahukan bahwa, Dia akan menjadikan Khalifah di muka bumi ini. Malaikat bertanya mengapa tuhan menjadikan di bumi ini orang-orang yang akan membuat kebinasaan dan menumpahkan darah atau berbunuh-bunuhan didalamnya, sedang kami (kata mereka), cukup sedia mengucap tasbih dan taqdis. Tetapi Allah menjawab; Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.[11]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Kedudukan manusia dapat ditinjau dari dua segi:
1.      Segi hubungannya dengan Tuhan

Dari segi hubungan dengan tuhan adalah kedudukan manusia sebagai hamba (makhluq) dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk tuhan adalah makhluk terbaik.

2.      Segi hubungannya dengan Makhluk
Dari segi hubungan dengan makhluk adalah kedudukan manusia sebagai makhluk Individu dan makhluk sosial; makhluk biologis dan makhluk psikologis spiritual.
Ketika memerankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).










DAFTAR PUSTAKA
Halim Hasan Dkk, Tafsir Al-Quranul Qarim, (Medan: Firma Islamyah, 1936), Cet. IX Jilid 1.

Atang Abdurrahman dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosda Karya, 1999).

                               , Kedudukan Manusia di Kalangan Makhluk Yang Lain, diakses dari :  http://www.angelfire.com/ns/alghader/sudut_ilmiah/kedudukan_manusia.html, pada tanggal 07 Januari 2011 pukul 11.21.

Bustaman Ismail, Manusia Sebagai Khalifah, diakses dari : http://www.hbis.wordpres.com, pada tanggal 15 Januari 2011 pukul 08.43.
                                             , Islam dan Kemanusiaan, diakses dari : http://miff.wordpress.com/2007/05/24/islam-dan-kemanusiaan/, pada tanggal 07 Januari 2011 oukul 09.28.


[1]                                                    , Islam dan Kemanusiaan, diakses dari : http://miff.wordpress.com/2007/05/24/islam-dan-kemanusiaan/, pada tanggal 07 Januari 2011 oukul 09.28.
[2] Ibid.
[3] Atang Abdurrahman dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosda Karya, 1999), h. 205.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid, h. 206.
[7] Ibid, h. 209.
[8]                                 , Kedudukan Manusia di Kalangan Makhluk Yang Lain, diakses dari :  http://www.angelfire.com/ns/alghader/sudut_ilmiah/kedudukan_manusia.html, pada tanggal 07 Januari 2011 pukul 11.21.
[9] Ibid.
[10] Bustaman Ismail, Manusia Sebagai Khalifah, diakses dari : http://www.hbis.wordpres.com, pada tanggal 15 Januari 2011 pukul 08.43.
[11] Halim Hasan Dkk, Tafsir Al-Quranul Qarim, (Medan: Firma Islamyah, 1936), Cet. IX Jilid 1 h. 116.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar