ISLAM DAN
KEMANUSIAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Metodologi Studi Islam (MSI) Pada Jurusan Ahwal Syahksiyah-B Semester
III
D
I
s
u
s
u
n
Oleh:
Rudi
Sofyan / 210909171
Syarifuddin
Mahyuzar Daulay / 210909176
Pembanding:
Zulaily
Dosen
pembimbing:
Fuji
Rahmadi, MA
JURUSAN
AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS
SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat, taufik dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelasaikan makalah ini. Yang berjudul "
Islam dan Kemanusiaan”.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kepada
para pembaca dan pakar dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.
Demikianlah, semoga bermanfaat.
Medan, Januari
2011
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.......................................................................................... 2
Daftar Isi................................................................................................... 3
BAB I......................................................................................................... 4
PENDAHULUAN......................................................................................... 4
A. Latar Belakang.................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 5
BAB II........................................................................................................ 6
PEMBAHASAN........................................................................................... 6
A. Kedudukan Manusia........................................................................... 6
B. Tugas Manusia.................................................................................... 10
C. Manusia Sebagai Khalifah.................................................................... 12
BAB III....................................................................................................... 14
PENUTUP.................................................................................................. 14
A. Kesimpulan........................................................................................ 14
B. Analisis............................................................................................... 14
Daftar
Pustaka........................................................................................... 15
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tidak bisa
dipungkiri, nilai-nilai humanisme universal memang menjadi pesan umum dari
seluruh agama di dunia. Hanya saja, dalam Islam, kita dapat menemukan contoh
praksisnya dalam kehidupan Rasulullah di seluruh dimensi kehidupan, dari
tingkat individu hingga level negara. Humanisme dalam bingkai tauhid itulah
yang menjadikan daulah Islamiyah pada zaman Nabi hingga Khulafaurrasyidin
menjadi negara egaliter meskipun kekuasaan sangat terpusat pada sosok khalifah
dan lembaga penyeimbang eksekutif belum kuat, jika tidak dibilang belum ada.[1]
Akan tetapi,
sangat disayangkan, saat ini ketika berjuta manusia membutuhkan panduan yang
rigid untuk kembali pada fitrah kemanusiaannya, Islam hanya ditonjolkan wajah
ritual simboliknya. Bahkan tidak jarang justru ditafsirkan secara literal
sebagai justifikasi berlangsungya suatu rezim feodal, kekerasan, dan teror.
Tauhid pun seakan dibatasi penerapannya hanya menjadi bidang kajian keilmuan,
namun tanpa praktek nyata di lapangan. Sehingga pada akhirnya Islam tenggelam
dalam kejumudan umatnya, dan kehilangan aura humanisme universalnya. Nah, jika
dalam pandangan sains saat ini sedang ngetrend mengenai istilah
integralisme agar sains lebih memberi sumbangan positif pada kehidupan manusia
secara keseluruhan. Maka, tidak ada salahnya jika cara pandang integral tadi
juga diterapkan pada pemahaman keislaman. Mungkin ini saatnya pandangan
fiqh-sentris, khilafah-sentris, tekstual-sentris, dan juga kontekstual-sentris
mulai diintegrasikan agar aura keislaman yang manusiawi muncul kembali dan pada
akhirnya akan memberikan kontribusi pada kehidupan manusia secara keseluruhan.[2]
B.
Rumusan
Masalah
1. Kedudukan
Manusia
2. Tugas
Manusia
3. Manusia
Sebagai Khalifah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan
Manusia
Jalalaludin
Rahmat (lihat Budhy Munawar Rachman
(ed.), 1994: 75-80) menulis sebuah artikel enagn judul “Konsep-konsep
Antropologis”. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa dala Al-Quran terdapat
tiga istilah kunci yang mengacu pada makna pokok manusia: basyar, insan dan
al-nas.[3]
1. Basyar
Basyar
yang dalam Al-Quran disebut sebanyak 27 kali, memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk biologis. Adapun
acuan pendapat ini adalah surat Ali-Imran [3]: 47; Al-Kahfi [18]: 110; Fushilat [41]: 6; Al-Furqan [25]:
7; dan Yusuf [12]: 31.[4]
Sebagai makhluk
biologis manusia dapat dilihat dari perkataan Maryam kepada Allah: “Tuhanku,
bagaimana mungkin aku memounyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar” (Ali-Imran
[3]: 47).[5]
2. Insan
Adapun
kata insan, yang dalam al-Quran disebut sebanyak 65 kali, dapat dikelompokkan
kedalam tiga kategori: pertama, insan dihubungkan dengan konsep manusia
sebagai khalifah atau pemikul amanah; kedua, insan dihubungkan
dengan predisposisi negatif manusia; dan ketiga, insan duhubungkan
dengan proses penciptaan manusia. Semua konsep insan menunjuk pada
konsep-konsep psikologis da spiritual.[6]
3. Al-Nas
Konsep
kunci yang ketiga adalah al-nas yang mengacu pada manusia sebagai
makhluk sosial. Ia disebut dalam
Al-Quran sebanyak 240 kali.
Kedudukan
manusia dapat ditinjau dari dua segi:
1.
Segi hubungannya
dengan Tuhan
Dari segi hubungan dengan tuhan adalah kedudukan manusia sebagai hamba (makhluq) dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk tuhan adalah makhluk terbaik.[7]
Dikeluarkan oleh Ibnu Mardawiyah dari Aishah r.a.
yang berkata: Aku telah bertanya: Wahai Rasulullah!, siapakah yang paling mulia
di antara makhluk di sisi Allah s.w.t.?. Baginda menjawab: "Wahai Aishah,
tidakkah engkau membaca:
"Sesungguhnya Orang-orang yang beriman dan beramal saleh adalah
sebaik-baik makhluk"
Dikeluarkan oleh Ibnu Asakir daripada Jabir bin
Abdullah Al-Ansari r.a. yang berkata bahawa adalah kami berada di sisi
Rasulullah s.a.w., maka tiba-tiba Ali datang, lantas baginda s.a.w.
bersabda:" Demi jiwaku di dalam genggamannya, sesungguhnya (lelaki) ini
dan pengikut-pengikutnya bagi mereka kejayaan di hari kiamat", dan
turunlah:
"Sesungguhnya Orang-orang yang beriman dan beramal saleh adalah
sebaik-baik makhluk"
Dikeluarkan oleh Ibnu Adi dari Ibnu Abbas r.a.
ketika turunnya ayat:
"Sesungguhnya Orang-orang yang beriman dan
beramal saleh adalah sebaik-baik makhluk".
Lantas Rasulullah bersabda kepada Ali k.w.h.: Engkau
dan para pengikut-pengikut engkau di hari kiamat redha-diredhai".
Di keluarkan oleh Ibnu Mardawiyah dari Ali k.w.h.
yang berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Adakah tidak engkau mendengar
perkataan Allah :
"Sesungguhnya Orang-orang yang beriman dan
beramal saleh adalah sebaik-baik makhluk"
Lantas Rasulullah s.a.w. bersabda: Engkau dan
pengikut-pengikut engkau, janjiku dan janjimu adalah kolam di dalam syurga
apabila engkau datang bersama ummat manusia untuk perkiraan".
Kerana kemuliaan yang Allah berikan kepada manusia
inilah maka Al-Quran membentangkan manifestasinya di dalam peristiwa para
malaikat seluruhnya diperintahkan oleh Allah s.w.t. supaya tunduk kepada Adam
a.s.:
Maksudnya:
Dan ingatlah, ketika kami berkata kepada para
malaikat: sujudlah kamu semua kepada Adam, lantas seluruhya sujud kecuali
Iblis, yang enggan dan membesarkan diri, dan ia adalah tergolong dalam golongan
yang kufur".
Di atas kemulian ini Allah s.w.t. telah mencipta
manusia di dalam sebaik-baik bentuk, kesempurnaan kejadian dari segi lahiriah
(fizikal), dengan bentuk tubuh badan yang bernilai dan memerlukan alam
persekitaran hidup yang sesuai bagi naluri mereka serta memakan dan menikmati
shahwat yang disalukan dengancara yang murni. Begitu juga kesempurnaan kejadian
dari segi batiniyah yang diperhiaskan dengan akal, hati dan perasaan yang dapat
dikendalikan. Untuk semua Aspek inilah Allah menyatakan di dalam Al-Quran:
maksudnya: "Dan demi sesungguhnya kami ciptakan
manusia di dalam sebaik-baik bentuk.
Lantaran manusia juga diperhiaskan dengan hawa
nafsu, maka apabila mereka berjaya di dalam pertarungan dengan hawa nafsu
tersebut dan mengabdi kepada Allah s.w.t. mereka akan mendapat kedudukan yang
tertinggi di sisi Allah s.w.t. berbanding dengan para malaikat yang mengabdikan
diri kepada Allah mengikut tabiat yang dikurniakan tanpa pertarungan dengan
hawa nafsu. Tetapi apabila manusia gagal di dalam pertarungan dengan hawa nafsu
maka mereka akan lebih hina daripada haiwan.
Di antara beberapa kurniaan untuk menjaga kemuliaan
manusia:
Di dalam surah Isra ayat 70, terdapat ungkapan Allah
yang berbunyi:
Wahamalna fil barri wal bahri wa razaqnahum
minatthaiyibat" yang bermaksud:"Dan kami berikan rezeki kepada mereka
daripada (daripada barang-barang perhiasan) yang baik-baik".
Maka dari ungkapan ini kita dapat memahami
sebahagian dari kurniaan Allah s.w.t. yang bertujuan untuk memuliakan mereka
berbanding dengan makhluk yang lain.
Manusia diberi kemampuan untuk menghasilkan berbagai
jenis kenderaan yang boleh dipergunakan bagi perjalanan di darat, di laut dan
di udara dengan menempuh dengan berbagai suhu dan cuaca. Pencapaian ini yang
dianggap oleh golongan yang tidak beriman sebagai pencapain semulajadi mereka,
tanpa mereka menyedari bahawa diri mereka sendiri dicipta oleh Allah s.w.t..
Demikian juga orang-orang yang beriman berkemungkinan sebahagian daripada
mereka menganggap bahawa pencapaian ini asing dari tamaddun manusia yang
dirakam oleh Allah s.w.t., mereka lupa kepada pelayaran bahtera nabi Yunus a.s.
di dalam perut ikan, perjalanan Rasulullah s.a.w. di malam israk dan mikraj dan
sebagainya.
Seterusnya Allah s.w.t. menyatakan secara umum
penghalalan bagi manusia barang-barang yang baik dengan berbagai penghasilan
yang sah di sisi Allah s.w.t. dan pengharaman bagi manusia barang-barang buruk
(jijik) atau penghasilan yang tidak sah di sisi Allah s.w.t.. Di dalam hal ini
Allah s.w.t. berfirman:
yang bermaksud:" Dan Allah menghalalkan bagi
mereka itu barang-barang yang baik dan ia mengharamkan bagi mereka itu
barang-barang yang buruk”.
Dari pernyataan secara umum ini maka penelitian
hukum yang berhubung dengan halal dan haram terhadap segala macam barang-barang
samaada yang yang terdiri dari makanan ataupun pakaian diberikan perhatian yang
serius oleh para ulama sejak zaman "mutaqaddimin" dengan ijtihad yang
kuat hujjahnya sehingga berhati-hati terhadap perkara yang tidak diharamkan
oleh Allah s.w.t. secara jelas supaya ditinggalkan kerana dibimbangi
penyalahgunaannya akan terjatuh di dalam kemurkaan Allah s.w.t.
Dengan penelitian ini kaedah-kaedah umum dari penyataan Allah s.w.t.
dapat dipelihara dan tidak dinodai dengan berbagai tanggapan yang dapat
diterima oleh lojik dan dipadankan dengan analisa yang terlalu jauh dari dasar
dan tujuan Allah s.w.t. mencipta manusia sebagai makhluk yang paling mulia.
2.
Segi hubungannya
dengan Makhluk
Dari
segi hubungan dengan makhluk adalah kedudukan manusia sebagai makhluk Individu
dan makhluk sosial; makhluk biologis dan makhluk psikologis spiritual.
Dalam
Al-Quran Surah Al-Israk, ayat 70 Allah mengatakan:
"Dan sesunggunya
kami telah muliakan anak-anak adam, dan kami telah berikan kenderaan kepada mereka
di darat dan di laut, dan kami telah beri rezeki kepada mereka dari rezeki yang
baik-baik, dan kami telah lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk-makhluk lain
yang telah kami ciptakan dengan kelebihan yang sepenuhnya".
Periwayatan yang dinukilkan oleh Ibnu
Katsir mengenai ayat tersebut:
Ibnu Asakir meriwayatkan satu periwayatan
dengan sanadnya yang sampai kepada Anas bin Malik r.a. daripada rasulullah
s.a.w. yang bersabda:"Tuhan kami, engkau jadikan kami dan jadikan anak
Adam, dan engkau jadikan mereka memakan makanan, meminum minuman, memakai
pakaian, mengahwini wanita, menuggangi binatang-binatang (kenderaan), tidur dan
berehat dan engkau tidak jadikan bagi kami sesuatu yang demikian itu, maka
jadikan mereka dunia dan jadikanlah akhirat bagi kami. Allah s.w.t. berfirman:
Tidak!, Aku jadikan mereka yang telah aku ciptakan dengan kedua-dua tanganku,
dan aku telah tiupkan roh padanya, sebagaimana orang-orang yang aku berkata
kepadanya "jadi" maka jadilah"[8]
Allah berfirman dalam Surah
Al-Bayyinah Ayat 7 :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
beramal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk
Periwayatan yang dinukilkan oleh Imam As-Sayuthi
mengenai ayat tersebut:
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim daripada
Abu Hurairah r.a. yang berkata bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda:Adakah kamu
merasa hairan mengenai kedudukan malaikat di sisi Allah s.w.t.. Demi jiwaku di
dalam genggamannya, sesungguhnya kedudukan hamba yang beriman di sisi Allah
s.w.t. di hari kiamat lebih besar daripada kedudukan malaikat, bacalah jika
kamu mengkehendaki: " [9]
B.
Tugas
Manusia
Manusia diciptakan oleh
Allah SWT agar menyembah kepadanya. Kata menyembah sebagai terjemahan dari
lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun. Beribadah berarti menyadari dan
mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk mengikuti
kehendaknya, baik secara sukarela maupun terpaksa.[10]
1. Ibadah muhdah
(murni), yaitu ibadah yang telah ditentukan waktunya, tata caranya, dan
syarat-syarat pelaksanaannya oleh nas, baik Al Qur’an maupun hadits yang tidak
boleh diubah, ditambah atau dikurangi. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya.
2. Ibadah ‘ammah
(umum), yaitu pengabdian yang dilakuakn oleh manusia yang diwujudkan dalam
bentuk aktivitas dan kegiatan hidup yang dilaksanakan dalam konteks mencari keridhaan
Allah SWT
Jadi, setiap insan tujuan
hidupnya adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT, karena jiwa yang memperoleh
keridhaan Allah adalah k=jiwa yang berbahagia, mendapat ketenangan, terjauhkan
dari kegelisahan dan kesengsaraan bathin. Sedankan diakhirat kelak, kita akan
memperoleh imbalan surga dan dimasukkan dalam kelompok hamba-hamba Allah SWT
yang istimewa. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Hai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhainya. Maka
masuklah dalam jamaah hamba-hambaku. Dan masuklah ke dalam surgaku.” (QS
Al Fajr : 27-30)
Selama hidup di dunia
manusia wajib beribadah, menghambakan diri kepada Allah. Seluruh aktivitas
hidupnya harus diarahkan untuk beribadah kepadanya. Islam telah memberi petunjuk
kepada manusia tentang tata cara beribadah kepada Allah. Apa-apa yang dilakukan
manusia sejak bangun tidur samapai akan tidur harus disesuaikan dengan ajaran
Islam.
Jin dan manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah SWT mempunayi tugas pokok di muka bumi, yaitu untuk
mengabdi kepada Allah SWT. Pengabdian yang dikehendaki oleh Allah SWT adlah
bertauhid kepadanya, yakni bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Jin dan
manusia wajib mengesakan Allah dalam segala situasi dan kondisi, baik dalam
keadaan suka maupun duka.
Petunjuk Allah hanya akan
diberikan kepada manusia yang taat dan patuh kepada Allah dan rasulnya, serta
berjihad dijalannya. Taat kepada Allah dibuktikan dengan menjalankan
perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Taat kepada rasul berarti bersedia
menjalankan sunah-sunahnya. Kesiapan itu lalu ditambah dengan keseriusan
berjihad, berjuang di jalan Allah dengan mengorbankan harta, tenaga, waktu,
bahkan jiwa.
C.
Manusia
Sebagai Khalifah
Ketika memerankan
fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang
diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan
bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan
yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
1. Memakmurkan Bumi
Manusia mempunyai
kewajiban kolektif yang dibebankan Allah SWT. Manusia harus mengeksplorasi
kekayaan bumi bagi kemanfaatan seluas-luasnya umat manusia. Maka sepatutnyalah
hasil eksplorasi itu dapat dinikmati secara adil dan merata, dengan tetap
menjaga kekayaan agar tidak punah. Sehingga generasi selanjutnya dapat
melanjutkan eksplorasi itu.
2. Memelihara Bumi
Melihara bumi dalam arti
luas termasuk juga memelihara akidah dan akhlak manusianya sebagai SDM (sumber
daya manusia). Memelihara dari kebiasaan jahiliyah, yaitu merusak dan
menghancurkan alam demi kepentingan sesaat. Karena sumber daya manusia yang
rusak akan sangata potensial merusak alam. Oleh karena itu, hal semacam itu
perlu dihindari.
Allah menciptakan alam
semesta ini tidak sia-sia. Penciptaan manusia mempunyai tujuan yang jelas,
yakni dijadikan sebagai khalifah atau penguasa (pengatur) bumi. Maksudnya,
manusia diciptakan oleh Allah agar memakmurkan kehidupan di bumi sesuai dengan
petunjukNya. Petunjuk yang dimaksud adalah agama (Islam).
Sebagai seorang muslim dan hamba Allah yang taat
tentu kita akan menjalankan fungsi sebagai khalifah dimuka bumi dengan tidak
melakukan pengrusakan terhadap Alam yang diciptakan oleh Allah SWT karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Seperti
firmannya dalam surat Al Qashash
ayat 77 yang berbunyi:
“dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS AL Qashash : 7)
Dan dalam surat Al-Baqarah ayat 30
Allah berfirman:
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Maksud ayat ini mengatakan bahwa sesungguhnya Allah
bahwa sesungguhnya Allah berfirman kepada sekalian malaikat memberitahukan
bahwa, Dia akan menjadikan Khalifah di muka bumi ini. Malaikat bertanya mengapa
tuhan menjadikan di bumi ini orang-orang yang akan membuat kebinasaan dan
menumpahkan darah atau berbunuh-bunuhan didalamnya, sedang kami (kata mereka),
cukup sedia mengucap tasbih dan taqdis. Tetapi Allah menjawab; Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kedudukan
manusia dapat ditinjau dari dua segi:
1.
Segi hubungannya
dengan Tuhan
Dari segi hubungan dengan tuhan adalah kedudukan manusia sebagai hamba (makhluq) dan kedudukan manusia dalam konteks makhluk tuhan adalah makhluk terbaik.
2.
Segi hubungannya
dengan Makhluk
Dari
segi hubungan dengan makhluk adalah kedudukan manusia sebagai makhluk Individu
dan makhluk sosial; makhluk biologis dan makhluk psikologis spiritual.
Ketika memerankan
fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, ada dua peranan penting yang
diamanahkan dan dilaksanakan manusia sampai hari kiamat. Pertama, memakmurkan
bumi (al ‘imarah). Kedua, memelihara bumi dari upaya-upaya perusakan
yang datang dari pihak manapun (ar ri’ayah).
DAFTAR PUSTAKA
Halim
Hasan Dkk, Tafsir Al-Quranul Qarim, (Medan: Firma Islamyah, 1936), Cet.
IX Jilid 1.
Atang
Abdurrahman dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosda
Karya, 1999).
, Kedudukan Manusia di Kalangan Makhluk Yang
Lain, diakses dari : http://www.angelfire.com/ns/alghader/sudut_ilmiah/kedudukan_manusia.html, pada tanggal
07 Januari 2011 pukul 11.21.
Bustaman Ismail, Manusia Sebagai Khalifah, diakses dari : http://www.hbis.wordpres.com,
pada tanggal 15 Januari 2011 pukul 08.43.
, Islam dan Kemanusiaan, diakses dari : http://miff.wordpress.com/2007/05/24/islam-dan-kemanusiaan/,
pada tanggal 07 Januari 2011 oukul 09.28.
[1]
,
Islam dan Kemanusiaan, diakses
dari : http://miff.wordpress.com/2007/05/24/islam-dan-kemanusiaan/,
pada tanggal 07 Januari 2011 oukul 09.28.
[2]
Ibid.
[3]
Atang Abdurrahman dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Rosda Karya, 1999), h. 205.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Ibid, h. 206.
[7]
Ibid, h. 209.
[8]
, Kedudukan Manusia di Kalangan Makhluk Yang
Lain, diakses dari : http://www.angelfire.com/ns/alghader/sudut_ilmiah/kedudukan_manusia.html,
pada tanggal 07 Januari 2011 pukul 11.21.
[9]
Ibid.
[10]
Bustaman Ismail, Manusia Sebagai
Khalifah, diakses dari : http://www.hbis.wordpres.com,
pada tanggal 15 Januari 2011 pukul 08.43.
[11]
Halim Hasan Dkk, Tafsir Al-Quranul Qarim, (Medan: Firma Islamyah, 1936),
Cet. IX Jilid 1 h. 116.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar